Rabu, 23 Juli 2008

Perempuan Tangguh

Dalam beberapa kesempatan saat aku melakukan kunjungan lapangan di desa-desa sasaran Rekompak (di Aceh maupun DIY, Jateng dan Jabar), kerapkali aku menyaksikan kaum perempuan begitu tekun mengikuti berbagai event pertemuan yang digelar dan difasilitasi para Fasilitator. Mereka tidak sekedar hadir dalam pertemuan-pertemuan itu, melainkan juga aktif mengemukakan pendapat dan mengartikulasikan kepentingannya. Tidak hanya itu, dalam kesempatan yang lain aku juga menyaksikan kaum perempuan aktif terlibat dalam proses kegiatan lapangan dari berbagai jenis pekerjaan, dari mulai melakukan pemetaan swadaya, pendataan korban dan kondisi rumah, belanja material, bahkan ikut bekerja bersama para tukang membangun rumah. Luar biasa! Perempuan-perempuan itu sungguh sangat tangguh. Meskipun di satu sisi hidupnya masih terhimpit beban struktural karena ekonomi yang sulit dan juga beban kultural karena mereka juga masih harus mengurusi kesibukannya di sektor domestik (rumah tangga), tetapi mereka seperti tidak perduli, semua dikerjakan dengan tekun dan dengan hati yang tulus. Kesadaran apakah yang membentuk sikap dan perilaku kaum perempuan hingga sampai setangguh itu? Mungkin masih sedikit di antara kita yang mau mempelajarinya, apalagi bagi kita yang masih merasa cukup mapan dalam domain dan kuasa rezim patriakhi. Hehehe... Mari belajar bersama!

2 komentar:

Anonim mengatakan...

mbah,...

1 hal yang patut kita cermati dan tidak dapat dianggap tidak pernah terjadi saat men-fasilitasi komunitas di Nanggroe. 1 perihal dari perihal lainnya yang membuat saya ingin kembali ke tanah Nanggroe. Perempuan Nanggroe, setiap kali temen-temen Re-kompak men-fasilitasi dalam pelbagai kesempatan untuk membangun kembali komunitas mereka yang terberai oleh Tsunami.
Perempuan-perempuan Nanggroe, masih saja berada di shaf paling belakang Meunasah saat proses pengambilan keputusan bagi komunitasnya. Perempuan Naggroe masih berada di sudut-sudut ruangan saat komunitas bergerak memperbaiki kondisi. Perempuan Nanggroe masih terdengar lirih suaranya saat beradu dengan suara gelegar dari komunitasnya.
Perempuan-perempuan Naggroe itu masih berada dalam bayang-bayang "yang-berjenis kelamin-Lainnya"...

tampaknya ini yang perlu kita belajar darinya mbah....credo agama tentang etika majlis atau etika sosial, apakah juga harus membentuk kondisi tersebut?

lets sudy together...!!!

Thoib Soebhanto mengatakan...

Secara personal "musuh" kaum perempuan yang paling dekat adalah suaminya, ayahnya, abangnya, adik laki-lakinya, eyang kakungnya, kawan laki-lakinya, pacarnya dan bahkan anak laki-lakinya. Sedangkan secara institusional "musuh" mereka yang paling nyata adalah negara dan kekuasaannya yang berada dalam domain patriakhi, adat budayanya, dan bahkan agamanya sendiri. Tapi aku sendiri tidak memilih jalan se-ekstrem itu. Bagiku, perempuan dalam konstruksi sosial apapun adalah entitas yang sesungguhnya memiliki daya imun cukup tangguh. Mereka memiliki komunike dan pandangan hidup sendiri. Tanggungjawab kita adalah membuka ruang seluas-luasnya agar perempuan mampu menemukan ruang yang cukup representatif dalam mengartikulasikan kebutuhan dan kepentingannya secara adil dan bijak. Jika domain patriakhi masih demikian kuatnya, bagiku memaksakan perempuan melawan domain itu adalah pilihan yang cukup mahal biaya sosialnya. Tetapi membiarkan perempuan berada dalam domain patriakhi juga sama artinya dengan menumpuk hutang sosial yang entah kapan bisa terbayarkan. Jalan apa yang paling bijak agar perempuan mendapatkan hak-haknya secara adil? Aku sepakat, kita mesti belajar tentang hal ini, terutama belajar memahami perempuan dari sudut pandang perempuan itu sendiri. Kadangkala, definisi keadilan bagi perempuan yang ada di kepala kita belum tentu sama dengan definisi mereka para perempuan. Hehehe... Aku juga pengen lagi ke aceh, kangen dengan beberapa kawan perempuan di sana. Thanks atas komentarnya, mari belajar bersama!